Featured Posts
Rabu, 28 Maret 2012
Senin, 26 Maret 2012
Dualisme dalam Undang-undang Yayasan
Yayasan
sebagai badan hukum di Indonesia memiliki peran penting dan tugas mulia
jika menilik pada tujuan didirikannya. Pasal 1 ayat (1)UU No.16 Tahun
2001 tentang Yayasan menyatakan Yayasan didirikan untuk mencapai tujuan
tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Namun dalam UU yang sama, pada pasal
7 disebutkan bahwa Yayasan diperbolehkan mendirikan badan usaha yang
bersifat prospektif dengan ketentuan penyertaan modal dari Yayasan
maksimal 25 % dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
Dua pasal ini jelas membawa
implikasi yang berlawanan kedepannya. Jika Yayasan ditujukan
pendiriannya untuk tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, hal itu
jelas harus jauh-jauh dari tujuan Badan Usaha yang semata-mata untuk
mendapatkan keuntungan. Tujuan pendirian Yayasan jelas mengedepankan
prinsip non profit, mengedepankan kepentingan masyarakat, dan murni
merupakan pengabdian.
Namun dengan dibukanya celah bagi
yayasan untuk membuka badan usaha, secara langsung dapat dipertanyakan
apakah yayasan mampu melaksanakan tujuannya sepenuhnya? Karena kalau
berbicara tentang badan usaha, maka pastinya hitung-hitung untung rugi
dan keharusan pengembangan badan usaha dan kepentingan badan usaha tidak
akan bisa dilepaskan.
Meskipun dalam UU Badan Usaha Yayasan
diwajibkan untuk menjalankan kegiatan usahanya untuk tidak bertentangan
dengan maksud dan tujuan yayasan, namun kita tetap tidak akan bisa
membicarakan pengabdian secara utuh untuk tujuan sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan, karena pada prinsipnya badan usaha akan penuh dengan
kepentingan, dan keharusan untuk mencapai laba sebanyak-banyaknya untuk
keberlangsungan badan usaha di masa yang akan datang.
Belum lagi pasal 27 UU Yayasan yang
memperbolehkan Yayasan menerima bantuan dari negara dan bantuan tersebut
dimasukkan kedalam kekayaan yayasan yang dapat digunakan sebagai modal
pendirian Badan usaha. Hal ini membawa implikasi yang tidak selalu baik,
karena pendirian yayasan akan rawan untuk disalahgunakan.
Sebagai lembaga yang dilegalkan untuk
menerima bantuan cuma-cuma dari negara, pendirian yayasan bisa saja
tidak lagi murni untuk tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, namun
juga dijadikan peluang bisnis bagi mereka yang tidak beritikad baik
untuk mengharapkan bantuan negara yang bisa dipergunakan untuk
kepentingan badan usaha yang jelas-jelas berorientasi pada profit, bukan
seratus persen untuk tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Selain itu, keberadaan badan usaha
yayasan juga membuka ruang untuk disalah gunakan oleh para pembina dan
pengurus yayasan untuk memasukkan anggota keluarga mereka sebagai
komisaris maupun direksi di badan usaha yayasan.
Pengaturan yang longgar tentang
siapa-siapa saja yang boleh menjadi organ badan usaha yayasan,
menjadikan badan usaha yayasan rentan menjadi ‘badan usaha keluarga
pembina dan pengurus yayasan’ yang berisi anak, istri atau anggota
keluarga mereka yang lain. Sebab yang dilarang untuk menjadi Komisaris
atau Direksi pada Badan Usaha Yayasan berdasarkan pasal 7 UU Yayasan
adalah Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan.Aturan Mana yang akan dipakai?
Yayasan diperbolehkan mendirikan badan usaha juga berimplikasi luas. Jika Badan Usaha didirikan oleh yayasan, maka sebagai persekutuan modal dengan kepemilikan saham, maka siapa yang mewakili kepemilikan saham yang ditanamkan oleh yayasan dalam badan usaha yayasan? Karena jelas organ yayasan, baik itu pembinaan, pengurus, dan pengawas yayasan tidak diijinkan menjadi organ badan usaha yayasan. Seandainya terjadi permasalahan pada Badan Usaha Yayasan yang mana saham/modalnya berasal dari yayasan, aturan manakah yang akan dipakai? Karena Pengaturan yang terdapat dalam UU Perseoan Terbatas berbeda dengan pengaturan dalam UU Yayasan.
Maka dari itu keberadaan UU Yayasan perlu ditinjau ulang lagi. Baik dari segi pengaturan pendirian, tujuan, dan pengaturan Badan Usaha Yayasan. Karena tidak akan mungkin Yayasan akan mampu menjalankan tujuan pendiriannya jika disandingkan dengan kepentingan bisnis. Kalaupun yayasan membutuhkan uang untuk menunjang kegiatannya, hal tersebut seharusnya ditanggulangi dengan pola manajemen keuangan yang baik, karena berdasarkan UU Yayasan sumber kekayaan Yayasan bisa berasal dari berbagai sumber, antara lain sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, hibah wasiat, dan sumbangan dari Negara.
Oleh : Roshanty
Miko Kamal & Associates Legal Assistant
Padang Ekspres • Kamis, 22/03/2012
Maulid dan Aktualisasi Esensi Pendidikan
”Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As
Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan
yang nyata” (QS.Al Jumu’ah, 62:2)
Peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (Maulid) diperingati pada 12 Rabiul Awal setiap tahunnya. Refleksi kehadiran Nabi Muhammad SAW dengan risalah yang dibawanya, amat sangat patut untuk terus-menerus disegarkan, pencerahan yang dibawanya telah menyelamatkan peradaban umat manusia.
Pembawa risalah (Muhammad SAW) yang dikatakan sebagai seorang buta huruf (ummiyin), terkesan tokoh yang tidak cerdas atau masih terkebelakang secara budaya, sehingga masih perlu diajari dengan tulis baca. Akan tetapi, realitasnya Rasul Muhammad SAW adalah utusan sang pencipta itu adalah cerdas, kuat analisisnya dan tajam pikiran masa depan.
Aktualisasi misi suci (risalah) yang diemban pribadi agung Nabi Muhammad SAW tetap menjadi penting dan relevan bagi pembimbing manusia dalam mencapai kebahagiaan sejati. Ketika kemodernan yang sekarang wujud dan melingkupi semua sisi kehidupan, risalah Islam menjadi sangat dibutuhkan dalam menata kehidupan yang berakhlak mulia dan berkemanusiaan. Membumikan risalah Islam secara nyata adalah tugas suci yang tak boleh kendor dalam segala aspek kehidupan. Setidaknya ada 4 pendekatan dan esensi pendidikan yang dipesankan Al Quran agar diaktualisasikan oleh umat penjaga risalah ini.
Pertama, pendidikan tilawah. Pendidikan tilawah adalah pendidikan membaca. Membaca adalah jendela ilmu. Membaca menjadikan orang memiliki wawasan dan cara pandang hidup luas. Membaca membuat manusia tersambung dengan pengalaman orang lain dan sejarah kehidupan masa lalu. Kesenangan dan ketagihan membaca menjadikannya bertambah cerdas dan beradab. Kebiasaan dan tradisi membaca jauh lebih mulia dan tinggi nilainya dibanding kebiasaan menonton dan berbicara. Pesan pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah agar mengajarkan umat untuk membaca (QS. Al Alaq, 95: 1-5).
Membaca tentu bukanlah sekadar merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi wacana. Akan tetapi, mengerti tentang apa yang dipesankan oleh kalimat dan wacana itu. Sulit memahaminya, banyak pribadi lancar, fasih dan sangat mahir membaca, tetapi pikiran dan perilaku tidak dipengaruhi bacaannya itu. Mengapa ini terjadi? Boleh jadi pendekatan pendidikan yang ditempuhnya tidak berhasilkan membuatkan mereka menjadi terdidik oleh bacaannya.
Kedua; pendidikan tazkiyah. Misi penting kedua yang tegaskan Allah pada surat Al Jum’ah ayat kedua di atas adalah pendidikan kesucian (tazkiyah). Konsep suci dimaksudkan adalah berkaitan dengan keluhuran dan kejernihan jiwa. Kebaikan akhlak adalah inti dari seluruh ajaran (risalah) Islam. Pengakuan Al Quran suci tentang keagungan akhlak Nabi adalah ukuran bahwa misi Islam menegakkan kemuliaan akhlak (QS. Al-Qalam, 1-4).
Menyedihkan sekali jika akhir-akhir ini, menyaksikan berbagai penyimpangan moral di tengah masyarakat Indonesia. Tawuran pelajar, perkelahian antargenk, perilaku seks bebas, gaya hidup tidak beraturan menjadi beberapa contoh kelunturan moral di kalangan generasi muda kita. Di kalangan pejabat, praktik korupsi masih merupakan persoalan yang sangat mengerikan. Masyarakat kehilangan rujukan keteladanan, sehingga krisis moral semakin meluas. Ini semua bermula ketika pendidikan tazkiyah (budi pekerti) kurang merasuki alam kesadaran manusia hari ini. Patut diteliti, kerusakan kehidupan moral manusia modern bermula dari tercerabutnya pendidikan akhlak mulia. Keberpihakan pada kebenaran, kejujuran dan keadilan harus dapat didikkan kepada setiap generasi tanpa henti.
Fritjof Capra menyatakan, ”Pada awal dua dasawarsa terakhir abad ke-20, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Lihat : Fritjof Capra, The Turning Point: Titik Balik Peradaban, Jejak, Yogyakarta, 2007). H
Ketiga, pendidikan ilmiah. Sisi lain yang harus dikejar oleh Islam adalah pendidikan ilmiah. Pendidikan keilmuan, observasional, ilmiah, rasional, logis dan mengunakan pendekatan empiris adalah piranti utama dalam kehidupan. Ilmu pengetahuan membuat hidup menjadi mudah. Ilmu membuat yang berat menjadi ringan. Ilmu menjadikan yang jauh begitu dekat. Melalui ilmu manusia dapat merasakan semua nikmat dan kebaikan hidup. Kejayaan dan kemuliaan satu bangsa sangat dipengaruhi oleh tingkat capaian keilmuan yang dimilikinya.
Menjadikan sesuatu yang ilmiah terpisah dari sumbernya yang ilahiah akan membawa malapetaka kehidupan. Ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada sumber-sumber ilahiah akan memangsa pemilik ilmu itu sendiri. Ilmu tanpa keyakinan agama akan menjadi buta, agama tanpa ditopang oleh ilmu akan menjadi lumpuh, begitu kata bijak yang patut direnungkan. Tidak patut dan merugi sekali bangsa ini, jika kemajuan ilmu pengetahuan yang begini majunya, sementara di sisi lain masih banyak orang terjebak dalam lumpur kebodohan, jahiliyah, miskin dan terkebelakang.
Keempat, pendidikan hikmah. Aktualisasi pendidikan risalah yang sangat tinggi nilainya adalah pendidikan hikmah. Hikmah secara literal diartikan pendidikan yang menempatkan ketinggian moral, intelektual dan spiritual sebagai tujuan hendak dicapai. Pendidikan hikmah adalah mendorong pendidik, peserta didik dan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan untuk menjadikan dirinya sebagai teladan hidup yang akan ditiru dan diikuti lingkungannya. Pendidikan hikmah adalah pendidikan memanusiakan manusia.
Pendidikan yang menegaskan bahwa guru adalah bapak rohani (aburruh) yang tidak cukup dihargai dengan gaji dan tunjangan profesi saja. Begitu juga murid, tidaklah ditempatkan sebagai obyek pendidikan. Tetapi, ia adalah sahabat yang dibimbing dengan penuh kasih sayang. Hubungan guru dan murid yang didasarkan atas penilaian material dan kepentingan, dipastikan membuat pendidikan hikmah kehilangan makna, dan tidak dapat berjalan dengan baik. Begitu juga bila pendidikan diurus dengan pendekatan birokrasi kaku, struktural dan tidak mengindahkan aspek khusus yang menyertai setiap insan pendidikan, maka pendidikan akan mengalami kematian semu ”mati rasa”.
Mencermati kehadiran Rasul Muhammad SAW setelah lebih 14 abad ini, dapat dikatakan bahwa aktualisasi pendidikan risalah yang diajarkannya belum cukup pengaruhnya dalam kehidupan umatnya. Pendidikan membawa sebagai pintu kemajuan masih menjadi barang langka. Pendidikan tazkiyah (akhlak mulia) mulai mendekati jurang kehancuran. Pendidikan ilmiah timpang dan berjalan oleng, dikarenakan kuatnya serangan sekularisasi dan dikhotomi ilmu yang diembuskan barat. Pendidikan hikmah yang menjadi keunggulan Islam, juga tenggelam dan redup oleh derasnya syahwat hedonism, materialisme, dan kehidupan duniawi yang tidak terpimpin. Semoga Maulid Nabi 1423 H dapat mendorong semua pihak untuk merujuk dan mengaktualisasi risalah suci ini, guna kebaikan lebih sejati dan abadi.(Diskusi Samad)More">
Peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (Maulid) diperingati pada 12 Rabiul Awal setiap tahunnya. Refleksi kehadiran Nabi Muhammad SAW dengan risalah yang dibawanya, amat sangat patut untuk terus-menerus disegarkan, pencerahan yang dibawanya telah menyelamatkan peradaban umat manusia.
Sejarawan dan tokoh pemikir dunia dalam
berbagai disiplin ilmu, lintas agama, dan keyakinan yang memiliki
pikiran jernih dan berhati jujur pasti akan mengakui dan mengagumi
keandalan ajaran Islam dalam menyelesaikan problema kemanusiaan.
Pembawa risalah (Muhammad SAW) yang dikatakan sebagai seorang buta huruf (ummiyin), terkesan tokoh yang tidak cerdas atau masih terkebelakang secara budaya, sehingga masih perlu diajari dengan tulis baca. Akan tetapi, realitasnya Rasul Muhammad SAW adalah utusan sang pencipta itu adalah cerdas, kuat analisisnya dan tajam pikiran masa depan.
Istilah ummiyin yang tertera dalam Al
Quran di atas adalah untuk menegaskan bahwa pemikiran dan intelektualnya
begitu murni (genuine), dan jernih (orisinil) karena tidak pernah
tercemar dan terusakkan pemikiran dan khazanah syair jahiliyah yang
menyesatkan.
Aktualisasi misi suci (risalah) yang diemban pribadi agung Nabi Muhammad SAW tetap menjadi penting dan relevan bagi pembimbing manusia dalam mencapai kebahagiaan sejati. Ketika kemodernan yang sekarang wujud dan melingkupi semua sisi kehidupan, risalah Islam menjadi sangat dibutuhkan dalam menata kehidupan yang berakhlak mulia dan berkemanusiaan. Membumikan risalah Islam secara nyata adalah tugas suci yang tak boleh kendor dalam segala aspek kehidupan. Setidaknya ada 4 pendekatan dan esensi pendidikan yang dipesankan Al Quran agar diaktualisasikan oleh umat penjaga risalah ini.
Pertama, pendidikan tilawah. Pendidikan tilawah adalah pendidikan membaca. Membaca adalah jendela ilmu. Membaca menjadikan orang memiliki wawasan dan cara pandang hidup luas. Membaca membuat manusia tersambung dengan pengalaman orang lain dan sejarah kehidupan masa lalu. Kesenangan dan ketagihan membaca menjadikannya bertambah cerdas dan beradab. Kebiasaan dan tradisi membaca jauh lebih mulia dan tinggi nilainya dibanding kebiasaan menonton dan berbicara. Pesan pertama yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah agar mengajarkan umat untuk membaca (QS. Al Alaq, 95: 1-5).
Membaca tentu bukanlah sekadar merangkai kata menjadi kalimat, kalimat menjadi wacana. Akan tetapi, mengerti tentang apa yang dipesankan oleh kalimat dan wacana itu. Sulit memahaminya, banyak pribadi lancar, fasih dan sangat mahir membaca, tetapi pikiran dan perilaku tidak dipengaruhi bacaannya itu. Mengapa ini terjadi? Boleh jadi pendekatan pendidikan yang ditempuhnya tidak berhasilkan membuatkan mereka menjadi terdidik oleh bacaannya.
Kedua; pendidikan tazkiyah. Misi penting kedua yang tegaskan Allah pada surat Al Jum’ah ayat kedua di atas adalah pendidikan kesucian (tazkiyah). Konsep suci dimaksudkan adalah berkaitan dengan keluhuran dan kejernihan jiwa. Kebaikan akhlak adalah inti dari seluruh ajaran (risalah) Islam. Pengakuan Al Quran suci tentang keagungan akhlak Nabi adalah ukuran bahwa misi Islam menegakkan kemuliaan akhlak (QS. Al-Qalam, 1-4).
Menyedihkan sekali jika akhir-akhir ini, menyaksikan berbagai penyimpangan moral di tengah masyarakat Indonesia. Tawuran pelajar, perkelahian antargenk, perilaku seks bebas, gaya hidup tidak beraturan menjadi beberapa contoh kelunturan moral di kalangan generasi muda kita. Di kalangan pejabat, praktik korupsi masih merupakan persoalan yang sangat mengerikan. Masyarakat kehilangan rujukan keteladanan, sehingga krisis moral semakin meluas. Ini semua bermula ketika pendidikan tazkiyah (budi pekerti) kurang merasuki alam kesadaran manusia hari ini. Patut diteliti, kerusakan kehidupan moral manusia modern bermula dari tercerabutnya pendidikan akhlak mulia. Keberpihakan pada kebenaran, kejujuran dan keadilan harus dapat didikkan kepada setiap generasi tanpa henti.
Fritjof Capra menyatakan, ”Pada awal dua dasawarsa terakhir abad ke-20, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Krisis ini terjadi dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia” (Lihat : Fritjof Capra, The Turning Point: Titik Balik Peradaban, Jejak, Yogyakarta, 2007). H
Ketiga, pendidikan ilmiah. Sisi lain yang harus dikejar oleh Islam adalah pendidikan ilmiah. Pendidikan keilmuan, observasional, ilmiah, rasional, logis dan mengunakan pendekatan empiris adalah piranti utama dalam kehidupan. Ilmu pengetahuan membuat hidup menjadi mudah. Ilmu membuat yang berat menjadi ringan. Ilmu menjadikan yang jauh begitu dekat. Melalui ilmu manusia dapat merasakan semua nikmat dan kebaikan hidup. Kejayaan dan kemuliaan satu bangsa sangat dipengaruhi oleh tingkat capaian keilmuan yang dimilikinya.
Menjadikan sesuatu yang ilmiah terpisah dari sumbernya yang ilahiah akan membawa malapetaka kehidupan. Ilmu pengetahuan yang tidak didasarkan pada sumber-sumber ilahiah akan memangsa pemilik ilmu itu sendiri. Ilmu tanpa keyakinan agama akan menjadi buta, agama tanpa ditopang oleh ilmu akan menjadi lumpuh, begitu kata bijak yang patut direnungkan. Tidak patut dan merugi sekali bangsa ini, jika kemajuan ilmu pengetahuan yang begini majunya, sementara di sisi lain masih banyak orang terjebak dalam lumpur kebodohan, jahiliyah, miskin dan terkebelakang.
Keempat, pendidikan hikmah. Aktualisasi pendidikan risalah yang sangat tinggi nilainya adalah pendidikan hikmah. Hikmah secara literal diartikan pendidikan yang menempatkan ketinggian moral, intelektual dan spiritual sebagai tujuan hendak dicapai. Pendidikan hikmah adalah mendorong pendidik, peserta didik dan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan untuk menjadikan dirinya sebagai teladan hidup yang akan ditiru dan diikuti lingkungannya. Pendidikan hikmah adalah pendidikan memanusiakan manusia.
Pendidikan yang menegaskan bahwa guru adalah bapak rohani (aburruh) yang tidak cukup dihargai dengan gaji dan tunjangan profesi saja. Begitu juga murid, tidaklah ditempatkan sebagai obyek pendidikan. Tetapi, ia adalah sahabat yang dibimbing dengan penuh kasih sayang. Hubungan guru dan murid yang didasarkan atas penilaian material dan kepentingan, dipastikan membuat pendidikan hikmah kehilangan makna, dan tidak dapat berjalan dengan baik. Begitu juga bila pendidikan diurus dengan pendekatan birokrasi kaku, struktural dan tidak mengindahkan aspek khusus yang menyertai setiap insan pendidikan, maka pendidikan akan mengalami kematian semu ”mati rasa”.
Mati surinya pendidikan hikmah di era
digitalnya tidak terlalu sulit menunjukkan tanda-tandanya, berita
kekerasan dalam dunia pendidikan, perilaku menyimpang yang dilakukan
pendidik terhadap anak didik, korupsi sistematis di lingkungan
kementerian yang mengurus pendidikan, ”jual beli” jabatan kepala sekolah
adalah fenomena virus ganas menyedot ruh pendidikan di negeri ini.
Nauzubillahi minzalik.
Mencermati kehadiran Rasul Muhammad SAW setelah lebih 14 abad ini, dapat dikatakan bahwa aktualisasi pendidikan risalah yang diajarkannya belum cukup pengaruhnya dalam kehidupan umatnya. Pendidikan membawa sebagai pintu kemajuan masih menjadi barang langka. Pendidikan tazkiyah (akhlak mulia) mulai mendekati jurang kehancuran. Pendidikan ilmiah timpang dan berjalan oleng, dikarenakan kuatnya serangan sekularisasi dan dikhotomi ilmu yang diembuskan barat. Pendidikan hikmah yang menjadi keunggulan Islam, juga tenggelam dan redup oleh derasnya syahwat hedonism, materialisme, dan kehidupan duniawi yang tidak terpimpin. Semoga Maulid Nabi 1423 H dapat mendorong semua pihak untuk merujuk dan mengaktualisasi risalah suci ini, guna kebaikan lebih sejati dan abadi.(Diskusi Samad)More">
Langganan:
Postingan (Atom)